Gadis
Pantai merupakan roman karya Alm. Pramoedya Ananta Toer yang tergolong trilogi
dan tak terselesaikan. Disebabkan oleh vandalisme Angkatan Darat, dua buku
lanjutan Gadis Pantai terpaksa raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir
dan kekerdilan tradisi aksara. Cerita yang dibawakan dalam roman ini
merupakan gambaran dari sebuah kehidupan yang terjadi secara nyata di dalam
kehidupan keluarga almarhum sendiri. Gadis pantai yang digambarkan oleh
almarhum disini tidak lain adalah neneknya sendiri. Ibu dari Ibunya sendiri
yang melahirkannya. Roman ini menggambarkan kehidupan nenek almarhum yang
pernah dijadikan sebagai istri percobaan oleh seorang kaya pada masanya.
Roman
ini mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis belia nan elok berasal dari
kampung nelayan di Jawa Tengah, kabupaten Rembang, dan diambil menjadi istri
pembesar Jawa yang bekerja pada Belanda. Saat usianya menginjak empat belas
tahun ia hendak dibawa ke kota oleh bapak dan ibunya serta kepala kampung untuk
menghadap seorang priyayi yang disebut Bendoro. Konflik
berawal dari malam sebelum mereka hendak ke kota, gadis pantai dinikahkan
dengan sebilah keris, dimana benda tersebut merupakan wakil dari Bendoro dan
secara otomatis ia menjadi seorang istri pembesar. Sesungguhnya dirinya bukan
lah istri seutuh bendoro melainkan hanya sebagai Mas Nganten atau pelayan
kebutuhan seks pembesar sampai pembesar menikahi perempuan yang sederajat
dengannya.
Kehidupan Gadis Pantai berubah total, seperti
ungkapan Jawa, “Kere munggah Bale”. Segala keperluan sudah ada, tinggal
menjentikkan jari saja, asalkan ia patuh terhadap perintah Bendoro.
Pertama-tama, Gadis Pantai menikmati hal itu, namun lama kelamaan rasa rindu orang
rumah- Mak, Bapak- sungguh menggelora. Di rumah gedongan miliki Bendoro penuh
kehati-hatian, salah sedikit saja kena hukuman. Seperti ungkapan Gadis pantai
pada Bapaknya,” Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini… Ah tidak,
aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka.
Neraka. Neraka tanpa perasaan.
Di
awal pernikahan itu memberi suatu kehormatan baginya dan Mak-Bapaknya karena
dipandang sebagai keluarga yang memiliki derajat di kampung halamannya. Namun,
gadis pantai bersama Bendoro kurang mendapat perhatian dan kasih sayang
sesungguhnya. Bendoro sering pergi jauh dan tidak pulang karena urusan
pekerjaannya. Beragam pikiran negatif tentang suaminya namun apa daya gadis
pantai tidak boleh berharap apa-apa. Di usia 16 tahun ia mengandung dan
melahirkan seorang anak perempuan. Saat bayinya berusia tiga bulan, nasib
malang menimpanya. Ia diceraikan oleh Bendoro dan diusir dari rumah besar
dengan kejam. Tak hanya itu, Bendoro juga memisahkannya dengan sang bayi yang
akan diasuh oleh para bujang di rumah pembesar. Dalam perjalanan pulang ke
kampung bersama bapaknya, gadis pantai memutuskan untuk tidak pulang dan
berbelok ke Blora.
Dalam
karya Pram ini memperlihatkan praktek feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab
dan jiwa kemanusiaan dimana status sosial menjadi perbedaan yang amat mencolok.
Budaya patriarki atau kekuasaan juga terlihat dalam novel ini dengan adanya
penindasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Karakter tokoh dan latar
waktu maupun tempat pada roman Gadis Pantai digambarkan dengan baik oleh Pram
sehingga membuat pembaca terbawa suasana saat itu. Pram
memilih bahasa, kosakata yang jernih (clarity)
dan bersih (clear) membuat
pembacanya dimudahkan dalam mencerna
kalimat-kalimatnya, meskipun masih konvensional.
Kritik terhadap kaum Feodalistik dan kaum Patriarki digambarkan secara gamblang,
tanpa tedeng aling-aling,
di situ dijelaskan bahwa kaum priyayi yang memiliki keimanan atas nama agama
masih terbungkus dalam kemunafikannya sendiri. Ironisnya kaum yang mengerti apa
itu keimanan, apa itu agama, malah menyebarkan bau kebencian di antara
orang-orang hanya karena mereka tak sederajat.Sebaliknya rakyat yang sehari-hari hanya
bergelut dengan amisnya ikan di laut, kurang mengenal apa itu agama, namun
mereka berpikir, bertindak menggunakan hati nurani dalam menghadapi kehidupan
di tengah penjajahan Belanda yang sadis dan penjajahan kaun Feodal yang sinis.
Di sini membuktikan
bahwa sekuat atau sekuasa apapun penguasa, tak bisa menghalangi proses kreatif
atau kesenimanan seseorang, karena ide tak bisa dibajak, apalagi dibunuh. Ide
akan selalu tetap hidup, selama akal ini masih ada. Meskipun roman ini unfinished, namun bukan berarti
roman ini “miskin” esensi dan sastranya. Melainkan dari awal cerita, Pram sudah
mulai memasukkan unsur sastrawinya tak juga ketinggalan esensinya, bahwa Pram
ingin menunjukkan “dosa besar” kaum feodalistik ini yang tidak hanya membiarkan
“penjajahan” dari pihak asing saja, namun juga turut serta mengecap bagaimana
memiliki kekuasaan untuk menguasai sesama pribuminya sendiri dan
menyengsarakannya.Sungguh mengerikan di balik ekslusifitas kehidupan, kehidupan
glamor, hedonis kaum feodal sama artinya “memakan bangkai saudaranya sendiri”.
Rasa menjijikkan itu digambarkan Pramoedya Ananta Toer dengan sempurna untuk
membela bau harum bunga-bunga pribumi ini.