Minggu, 07 Agustus 2016

Problematika Kehidupan Wanita yang Tertuang dalam Roman "Gadis Pantai"


Gadis Pantai merupakan roman karya Alm. Pramoedya Ananta Toer yang tergolong trilogi dan tak terselesaikan. Disebabkan oleh vandalisme Angkatan Darat, dua buku lanjutan Gadis Pantai terpaksa raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan kekerdilan tradisi aksara. Cerita yang dibawakan dalam roman ini merupakan gambaran dari sebuah kehidupan yang terjadi secara nyata di dalam kehidupan keluarga almarhum sendiri. Gadis pantai yang digambarkan oleh almarhum disini tidak lain adalah neneknya sendiri. Ibu dari Ibunya sendiri yang melahirkannya. Roman ini menggambarkan kehidupan nenek almarhum yang pernah dijadikan sebagai istri percobaan oleh seorang kaya pada masanya.
Roman ini mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis belia nan elok berasal dari kampung nelayan di Jawa Tengah, kabupaten Rembang, dan diambil menjadi istri pembesar Jawa yang bekerja pada Belanda. Saat usianya menginjak empat belas tahun ia hendak dibawa ke kota oleh bapak dan ibunya serta kepala kampung untuk menghadap seorang priyayi yang disebut Bendoro. Konflik berawal dari malam sebelum mereka hendak ke kota, gadis pantai dinikahkan dengan sebilah keris, dimana benda tersebut merupakan wakil dari Bendoro dan secara otomatis ia menjadi seorang istri pembesar. Sesungguhnya dirinya bukan lah istri seutuh bendoro melainkan hanya sebagai Mas Nganten atau pelayan kebutuhan seks pembesar sampai pembesar menikahi perempuan yang sederajat dengannya.
Kehidupan Gadis Pantai berubah total, seperti ungkapan Jawa, “Kere munggah Bale”. Segala keperluan sudah ada, tinggal menjentikkan jari saja, asalkan ia patuh terhadap perintah Bendoro. Pertama-tama, Gadis Pantai menikmati hal itu, namun lama kelamaan rasa rindu orang rumah- Mak, Bapak- sungguh menggelora. Di rumah gedongan miliki Bendoro penuh kehati-hatian, salah sedikit saja kena hukuman. Seperti ungkapan Gadis pantai pada Bapaknya,” Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini… Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. 
Di awal pernikahan itu memberi suatu kehormatan baginya dan Mak-Bapaknya karena dipandang sebagai keluarga yang memiliki derajat di kampung halamannya. Namun, gadis pantai bersama Bendoro kurang mendapat perhatian dan kasih sayang sesungguhnya. Bendoro sering pergi jauh dan tidak pulang karena urusan pekerjaannya. Beragam pikiran negatif tentang suaminya namun apa daya gadis pantai tidak boleh berharap apa-apa. Di usia 16 tahun ia mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Saat bayinya berusia tiga bulan, nasib malang menimpanya. Ia diceraikan oleh Bendoro dan diusir dari rumah besar dengan kejam. Tak hanya itu, Bendoro juga memisahkannya dengan sang bayi yang akan diasuh oleh para bujang di rumah pembesar. Dalam perjalanan pulang ke kampung bersama bapaknya, gadis pantai memutuskan untuk tidak pulang dan berbelok ke Blora.
Dalam karya Pram ini memperlihatkan praktek feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan dimana status sosial menjadi perbedaan yang amat mencolok. Budaya patriarki atau kekuasaan juga terlihat dalam novel ini dengan adanya penindasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Karakter tokoh dan latar waktu maupun tempat pada roman Gadis Pantai digambarkan dengan baik oleh Pram sehingga membuat pembaca terbawa suasana saat itu. Pram memilih bahasa, kosakata yang jernih (clarity) dan bersih (clear) membuat pembacanya dimudahkan dalam mencerna kalimat-kalimatnya, meskipun masih konvensional.
Kritik terhadap kaum Feodalistik dan kaum Patriarki digambarkan secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, di situ dijelaskan bahwa kaum priyayi yang memiliki keimanan atas nama agama masih terbungkus dalam kemunafikannya sendiri. Ironisnya kaum yang mengerti apa itu keimanan, apa itu agama, malah menyebarkan bau kebencian di antara orang-orang hanya karena mereka tak sederajat.Sebaliknya rakyat yang sehari-hari hanya bergelut dengan amisnya ikan di laut, kurang mengenal apa itu agama, namun mereka berpikir, bertindak menggunakan hati nurani dalam menghadapi kehidupan di tengah penjajahan Belanda yang sadis dan penjajahan kaun Feodal yang sinis.
Di sini membuktikan bahwa sekuat atau sekuasa apapun penguasa, tak bisa menghalangi proses kreatif atau kesenimanan seseorang, karena ide tak bisa dibajak, apalagi dibunuh. Ide akan selalu tetap hidup, selama akal ini masih ada. Meskipun roman ini unfinished, namun bukan berarti roman ini “miskin” esensi dan sastranya. Melainkan dari awal cerita, Pram sudah mulai memasukkan unsur sastrawinya tak juga ketinggalan esensinya, bahwa Pram ingin menunjukkan “dosa besar” kaum feodalistik ini yang tidak hanya membiarkan “penjajahan” dari pihak asing saja, namun juga turut serta mengecap bagaimana memiliki kekuasaan untuk menguasai sesama pribuminya sendiri dan menyengsarakannya.Sungguh mengerikan di balik ekslusifitas kehidupan, kehidupan glamor, hedonis kaum feodal sama artinya “memakan bangkai saudaranya sendiri”. Rasa menjijikkan itu digambarkan Pramoedya Ananta Toer dengan sempurna untuk membela bau harum bunga-bunga pribumi ini.